kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.287.000   27.000   1,19%
  • USD/IDR 16.718   -17,00   -0,10%
  • IDX 8.337   18,53   0,22%
  • KOMPAS100 1.160   0,24   0,02%
  • LQ45 848   0,76   0,09%
  • ISSI 288   1,37   0,48%
  • IDX30 443   -2,30   -0,52%
  • IDXHIDIV20 511   -0,47   -0,09%
  • IDX80 130   0,11   0,09%
  • IDXV30 137   0,41   0,30%
  • IDXQ30 141   -0,81   -0,57%
SOSOK /

Kisah Dylan Field: Dari Putus Kuliah Hingga Sukseskan Figma


Rabu, 05 November 2025 / 14:22 WIB
Kisah Dylan Field: Dari Putus Kuliah Hingga Sukseskan Figma
ILUSTRASI. Kisah Dylan Field: Dari Putus Kuliah Hingga Sukseskan Figma.

Sumber: Business Insider,Forbes,Bloomberg | Editor: Tiyas Septiana

KONTAN.CO.ID -  Nama Dylan Field kini dikenal luas di dunia teknologi dan desain digital. Ia adalah sosok di balik kesuksesan Figma, platform desain kolaboratif yang mengubah cara desainer, pengembang, dan tim produk bekerja di era digital.

Lahir pada tahun 1992, Field telah menunjukkan visi luar biasa sejak usia muda dengan memadukan kemampuan teknis dan jiwa kepemimpinan yang visioner.

Dilansir dari Forbes, perjalanan kariernya dimulai saat ia menempuh studi di Brown University jurusan Ilmu Komputer. Namun, perjalanannya di kampus tidak berlangsung lama.

Baca Juga: Kisah Travis Kalanick: Dari Drop Out Kampus, Sukses Membangun Uber

Pada tahun 2012, ia terpilih sebagai salah satu penerima Thiel Fellowship, beasiswa bergengsi yang diberikan oleh miliarder Peter Thiel kepada anak muda berpotensi tinggi untuk meninggalkan bangku kuliah dan membangun perusahaan sendiri. Keputusan tersebut menjadi titik balik dalam hidupnya.

Awal Berdirinya Figma

Menurut laporan dari Business Insider, Dylan Field mendirikan Figma bersama rekannya, Evan Wallace, yang juga lulusan Brown University.

Awalnya, mereka mencoba berbagai ide bisnis, mulai dari membuat editor foto hingga alat untuk drone, sebelum akhirnya menemukan celah besar di dunia desain antarmuka web.

Visi mereka sederhana namun kuat: membuat alat desain yang bisa digunakan siapa saja, kapan saja, tanpa perlu instalasi perangkat lunak rumit.

Dari gagasan itulah lahir Figma, sebuah platform berbasis browser yang memungkinkan pengguna berkolaborasi secara real-time, mirip seperti Google Docs untuk desain.

Rintangan di awal perjalanan tidak sedikit. Dalam wawancaranya dengan The Verge, Field mengaku bahwa tim sempat frustrasi karena pengembangan produk memakan waktu bertahun-tahun sebelum versi beta pertama diluncurkan.

Namun ketekunan dan fokus pada pengalaman pengguna membuat Figma perlahan diterima oleh komunitas desainer di seluruh dunia.

Filosofi Kepemimpinan dan Budaya Inovasi

Field dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati dan terbuka terhadap ide tim. Ia menolak gaya kepemimpinan hierarkis dan memilih membangun budaya perusahaan yang kolaboratif.

Mengutip Fast Company, Field menekankan pentingnya “kepemimpinan rendah ego” atau low-ego leadership, di mana setiap anggota tim memiliki suara dan kontribusi yang sama penting.

Baginya, desain bukan hanya soal estetika, tetapi tentang bagaimana menciptakan solusi yang memperbaiki pengalaman manusia terhadap teknologi.

Ia percaya bahwa alat desain modern seharusnya tidak hanya mempermudah pekerjaan desainer, tetapi juga memperluas batas kreativitas mereka.

Ketika kecerdasan buatan (AI) mulai berkembang, Field melihatnya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk membantu desainer bekerja lebih efisien. Ia menekankan bahwa AI seharusnya menaikkan batas atas kreativitas manusia, bukan menggantikannya.

Tonton: Purbaya Pastikan Pembangunan IKN Berlanjut, Bantah Cap Kota Hantu dari Media Asing

Figma dan Kesuksesan Global

Figma resmi dirilis ke publik pada tahun 2016 dan segera menjadi fenomena di kalangan desainer produk. Platform ini digunakan oleh perusahaan besar seperti Google, Spotify, dan Airbnb, berkat kemampuannya mendukung kolaborasi lintas tim secara cepat dan transparan.

Kesuksesan ini membawa Figma menjadi salah satu perusahaan rintisan (startup) paling berharga di dunia.

Menurut laporan Bloomberg, valuasi Figma pernah mencapai lebih dari US$20 miliar sebelum proses akuisisi oleh Adobe diumumkan pada tahun 2022. Walaupun akuisisi itu kemudian dibatalkan karena kendala regulasi, posisi Figma di industri tetap kuat.

Field menilai bahwa kekuatan utama perusahaannya bukan terletak pada valuasi, tetapi pada komunitas pengguna yang terus berkembang. Ia mengatakan, “Selama kami bisa membantu orang membuat hal-hal yang hebat, kami akan tetap relevan.”

Visi Masa Depan Dylan Field

Kini di usia awal tiga puluhan, Dylan Field terus memimpin Figma dengan fokus pada inovasi dan aksesibilitas. Ia percaya bahwa masa depan desain akan semakin kolaboratif, terbuka, dan inklusif.

Dalam wawancaranya dengan The New York Times, misinya adalah memastikan siapa pun, baik desainer profesional maupun pelajar, dapat berpartisipasi dalam proses kreatif tanpa batasan teknologi.

Selain fokus pada Figma, Field juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Ia sering berbicara tentang pentingnya membangun perusahaan yang sehat secara budaya, bukan hanya sukses secara finansial.

Selanjutnya: Ini Cara Mulai Investasi Reksa Dana lewat MyBCA dari Rp 10 Ribu saja

Menarik Dibaca: Honor Pad X7 Tawarkan Fitur TÜV Rheinland, Cukup Bersaing dengan Redmi Pad 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

×